salty_fish
Sering kali.. ketika ada orang yang mengingatkan, kita selalu berusaha mencari pembenaran akan kesalahan kita. Bermacam-macam alasan dilontarkan, misalnya:
“.. biasanya juga gini koq.. yang laen juga sama..” atau..
“lho.. kebayakan orang melakukan yang sama.. tidak ada salahnya khan??”

Pernyataan yang ‘memaksa’ saya untuk terus belajar, dan pernyataan ini juga membuat saya berusaha untuk ‘bertahan’ dan ‘tak bergoyang’.. manakah yang sepatutnya dipilih?

Membenarkan yang Biasa … atau Membiasakan yang Benar…!!!

Kita terbiasa untuk membenarkan sesuatu yang dilakukan oleh kebayakan orang, kita terkadang lupa untuk meng-kritis-i atau mungkin malas untuk sedikit berbeda.. Hasilnya, terjadi pergeseran penafsiran tentang kebenaran. Yang benar adalah yang paling banyak di ikuti orang. Padahal sedikit bukan berarti salah.. hanya saja.. sulit untuk mulai atau bahkan bertahan membiasakan diri untuk melakukan segala sesuatu dengan benar..

Sekali lagi.. tulisan ini lebih bertujuan untuk mengingatkan diri saya sendiri..


Rosulullah [Solallahu’alaihi wassalam] bersabda: 
“Tidak akan masuk Surga orang yang didalam hatinya terdapat seberat zarroh rasa sombong”
Kemudian beliau bersabda,
“Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia” (HR. Muslim)


----------------
Menyambung bahasan yang lalu, tentang perintah dan larangan. Secara sederhana perintah dibagi atas Wajib dan Sunnah, sedangkan Larangan terdiri dari Haram dan Makruh.
Definisi Sederhana yang sering digunakan:
Wajib : Suatu perkara yang apabila dikerjakan mendapat pahala, Apabila ditinggalkan mendapat siksa.
Sunnah : Suatu perkara yang apabila dikerjakan mendapat pahala, Apabila ditinggalkan tidak dapat apa-apa.
Makruh : Suatu perkara yang apabila ditinggalkan mendapat pahala, Apabila dikerjakan tidak dapat apa-apa.
Haram : Suatu perkara yang apabila ditinggalkan mendapat pahala, Apabila dikerjakan mendapat siksa.

Untuk Sunnah dan Makruh sengaja saya gunakan kata-kata tidak dapat apa-apa dibandingkan dengan kata-kata “tidak mengapa” atau “tidak apa-apa”. Pemilihan kata-kata tersebut disengaja untuk memberikan penekanan untuk perkara tersebut. Sunnah misalnya, apabila ditinggalkan akan terasa kosong (hampa) bila tidak dikerjakan, bahkan terasa merugikan. Coba bayangkan.. jika ada perkara sederhana, mudah, murah, dan berhadiah didepan mata, apakah layak untuk ditinggalkan?? Tentulah yang terlintas dipikiran adalah.. Rugi rasanya melewatkan kesempatan emas itu. Sayangnya kita sering mengacuhkan dan sering melupakannya. 

Lebih jauh tentang perkara Wajib dan Sunnah (dan berlaku juga sebaliknya untuk perkara Haram danMakruh). Secara sederhana, suatu perkara dikatakan Wajib, jika terdapat beberapa hal berikut; imbalan (pahala), siksa/pemberat (dapat berupa ancaman atau dosa), syarat bagi pelakunya, danruksoh(keringanan). Yang membedakan antara Wajib dan Sunnah adalah siksa/pemberat dan ruksoh(keringanan), sedangkan yang membedakan antara perkara wajib (Wajib/fardhu ‘ain dan Wajib/fadu kifayyah) adalah siksa/pemberat, syarat, dan ruksoh (keringanan).

Sebelumnya.. sengaja saya gunakan kata pemberat disamping kata siksa, untuk mempermudah pengertian ruksoh (keringanan). Inilah salah satu hal yang mengistimewakan dan menjadi cirikhas Wajib diatas Sunnah. Tidaklah datang perkara Wajib, tanpa disertai beberapa ruksoh besertanya. 
Kita langsung diingatkan pada penjelasan Firman Allah [Subhanallahita’alla]:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya..” (QS: Albaqoroh – 286).
Artinya, Allah tidak akan membebani seseorang diluar kemampuannya. Ini merupakan kelembutan, kasih sayang, dan kebaikan-Nya terhadap Makhluk-Nya. Dan Ayat inilah yang menjadi ‘penghibur’ ketika para sahabat Nabi merasakan berat ketika turun Ayat:
”… Dan Jika kamu menampakkan apa yang ada didalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan denganmu tentang perbuatan itu…” (QS: Al Baqoroh – 284). Maksudnya, meskipun Dia menghisab dan meminta pertanggung jawaban, namun Dia (Allah[Subhanallahita’alla]) tidak mengazab melainkan disebabkan dosa yang seseorang memiliki kemapuan untuk menolaknya. 
Sungguh menarik kelanjutan dari Ayat ini..
“…Ia mendapatkan pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya, dan dia mendapatkan siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya..” (QS: Al Baqoroh-286).

bersambung (lagi)….. InsyaAlloh…. 
berikutnya.. contoh perkara Wajib; Pahala, siksa/pemberat, syarat, dan ruksoh (keringanan)..
1 Response
  1. luvrie Says:

    membenarkan yang benar aja deh